Kisah Kasih Ibu
Melukai Ibumu, Murkalah Tuhanmu.
Seorang ibu tua yang tinggal di kampung memiliki seorang anak pria yang
hidup sukses di kota. Anak tersebut menikah dengan seorang wanita karier
dan dikarunia seorang anak yang pintar.
Merasa kesepian, sang ibu yang tinggal di kampung berkirim surat kepada
anaknya bahwa dua minggu lagi ia akan pergi ke kota menjumpai anak
cucunya dan tinggal di sana demi mengusir rasa sepi.Saat menerima surat
dari ibunya, sang anak berdiskusi dengan istrinya tentang bagaimana
menyikapi kehadiran sang ibu di tengah mereka. Sang istri berkata, “Mas,
engkau bekerja seharian penuh hingga larut malam, demikian pula aku.
Aku akan merasa risih bila ibumu tinggal di rumah ini sebab ia akan
mencibirku dan mengatakan bahwa aku adalah ibu yang tidak pandai
mengurus anak sendiri.”
Sang istri melanjutkan, “Aku pun tak tega bila menyuruhmu untuk menaruh
beliau di panti jompo. Nah, bagaimana kalau kita buatkan saja sebuah
saung dari bambu di halaman belakang rumah. Lalu kita tempatkan ibumu di
sana. Ia akan bebas melakukan apa saja. Sementara kita dengan kesibukan
yang ada tidak akan pernah merasa terusik.”
Sang suami mengangguk tanda setuju atas usul istrinya. Maka dibuatkanlah
sebuah saung bambu di belakang rumah untuk sang ibu. Begitu ibunya
datang, anak dan menantu tersebut menerimanya dengan penuh kehangatan,
namun sayang mereka menempatkan sang ibu di saung bambu di halaman
belakang rumah.
Dan
kami berwasiat kepada manusia tentang kedua orangtuanya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. (kami berwasiat kepadanya). ’bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada kedua orangtuamu, karena hanya kepada-Ku-Lah kembalimu ( Qs. Lukman 31 : 14 )
Ibu yang datang ke kota demi mengusir kesepian di desa, malah merasa terisolasi di tengah anak cucunya sendiri.
“Ma, jangan lupa untuk mengirimkan makan tiga kali sehari untuk ibu ya!”
Itulah kalimat yang diucapkan sang suami kepada istrinya setiap kali ia
hendak berangkat bekerja. Sang istri pun lalu menyampaikan lagi pesan
ini kepada pembantunya untuk melakukan hal yang diminta suaminya. Maka,
tiga kali sehari makanan diantar oleh pembantu tersebut ke dalam saung.
Namun karena kesibukan mereka berdua, keduanya kerap lupa untuk
mengingatkan pembantu tersebut untuk mengantarkan makanan kepada
orangtuanya.
Tadinya tiga kali sehari, terkadang hanya dua kali atau satu kali.
Setelah berbulan-bulan tinggal di dalam saung, pesan untuk mengirimkan
makanan sudah tidak mereka ingat lagi sehingga pembantunya pun ikut
lalai mengirimkan padanya makanan.
ALLAH Swt sungguh murka terhadap anak yang melalaikan hidup orangtuanya!
Piring kotor masih teronggok di pinggir saung. Sudah lama tidak diambil
oleh pembantu yang biasa mengantarnya. Karena cahaya yang redup di dalam
saung, sang nenek tanpa sengaja menginjak piring itu hingga akhirnya
pecah. Tidak ada lagi makanan yang dikirimkan oleh anaknya. Nenek itu
lapar. Ia pun pergi ke warung untuk beli makanan untuk sekadar
mengganjal rasa lapar. Makanan telah terbeli, lalu dengan apa ia harus
meletakkan, sebab tiada lagi alas.
Lalu sang nenek pergi mencari alas untuk makanannya. Tiada yang ia temui
selain sebuah batok kelapa. Ia cuci dan bersihkan batok tersebut. Usai
dibersihkan, batok itu menjadi teman setia nenek untuk makan.
Demikianlah kebiasaan makan yang dilakukan nenek, hingga suatu hari
ALLAH berkenan untuk memberlakukan kehendaknya!!
Di suatu pagi, lepas dari pengawasan baby sitter, seorang bocah lelaki
berusia sekitar lima tahun pergi ke halaman belakang. Sudah lama ia
tidak bermain ke halaman tersebut. Bocah itu bengong, terperangah saat
ia melihat ada sebuah saung bambu di sana. Anak itu pergi menghampiri.
Ia dorong pintunya hingga terbuka. Anak tersebut memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi. Ia pun masuk ke dalamnya. “Eh… ada pangeran kecil
rupanya!” suara nenek terdengar mengguratkan senyum di bibir.
“Nenek siapa ya?” Tanya sang bocah polos.
“Aku ini adalah nenekmu. Ibu dari ayahmu!” Nenek itu mencoba menjelaskan.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menjalin kehangatan. Kehangatan tali persaudaraan. Persaudaraan antara seorang nenek dengan cucunya, yang tidak bisa dipisahkan oleh jarak apa pun. Keduanya membaur tak ubahnya darah dan daging.
“Aku ini adalah nenekmu. Ibu dari ayahmu!” Nenek itu mencoba menjelaskan.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah menjalin kehangatan. Kehangatan tali persaudaraan. Persaudaraan antara seorang nenek dengan cucunya, yang tidak bisa dipisahkan oleh jarak apa pun. Keduanya membaur tak ubahnya darah dan daging.
Sejak itu, sang bocah sering mengunjungi neneknya meski kedua
orangtuanya tak tahu apa yang dilakukan anaknya selama ini. Ketika si
bocah melihat sebuah benda aneh di pojok saung, ia bertanya, “Itu benda
apa, Nek?” si cucu menunjuk ke sebuah benda dengan perasaan ingin tahu.
Si nenek melempar pandangan ke arah yang ditunjuk cucunya. Ia tahu bahwa
yang dimaksud cucunya adalah batok kelapa.
“Oh… itu piring nenek. Tempat makan nenek. Lucu ya…?!” Nenek menjawab dengan wajah tersenyum.
“Iya, Nek! Ini bagus sekali,” sambut sang cucu. Sang cucu merekam kejadian itu.
Dalam sebuah liburan akhir pekan, bocah ini diajak tamasya ke luar kota
oleh papa dan mamanya. Mereka pergi membawa mobil ke tempat wisata.
Sesampainya di sebuah taman wisata yang begitu rimbun, teduh dan indah,
mereka pun berbagi tawa dan kebahagiaan. Mereka berlari, berkejaran,
berjalan dan melompat. Hari itu penuh keceriaan bagi mereka bertiga.
“Haaaap!” sang papa melompat sambil berteriak. Diikuti suara dan
lompatan yang sama dari sang mama. Rupanya keduanya telah melompat
melintasi bibir selokan kecil di sana. “Ayo Nak… lompati selokan itu.
Kamu pasti bisa!” Teriak keduanya berseru kepada anak mereka.
Sang anak berdiri terdiam di seberang. Ia melemparkan pandangan ke dalam
selokan. Ia tak mau melompat, namun malah berujar, “Pa… Ma…, tolong
ambilkan benda itu dong!” Papanya melihat ke arah benda yang ditunjuk
anaknya, ia tahu benda yang dimaksud adalah ‘batok kelapa’ dalam
selokan.
“Apa sih, Nak? Nggak usah diambil. Itu kotor!” kata Si papa. Sang mama
menimpali dengan kalimat serupa. Namun si anak tetap bersikeras,
merengek dan mengancam bahwa dirinya tidak mau meneruskan tamasya bila
mama atau papanya tidak mau mengambilkan benda tersebut.
Keduanya mengalah. Diangkatlah ‘batok kelapa’ yang telah baunya busuk
dari selokan. Keduanya repot mencari keran air untuk mencucinya. Setelah
agak bersih, batok itu pun diberikan kepada sang anak. Keduanya merasa
heran melihat sang anak begitu hangat memeluk batok kelapa tersebut.
Dalam perjalanan kembali ke rumah. Ketiganya masih berada di dalam
mobil. Tak sabar dan penuh rasa ingin tahu, sang mama bertanya kepada
anaknya, “Mama jadi bingung sama kamu. Sebenarnya untuk apa sih batok
kelapa itu, Nak.?!”
Si anak masih memeluk batok itu. Ia angkat kepalanya lalu berkata, “Aku
mau kasih kejutan ke mama!” Dengan kepolosannya ia melanjutkan, “Kalau
sampai di rumah, benda ini akan aku cuci sampai bersih. Setelah itu akan
aku beri bungkus yang rapih. Bila sudah rapi, aku akan berikan ini
untuk mama sebagai alas untuk makan.”
“Untuk makan?!” Mama bertanya keheranan dengan rasa jijik. “Iya, untuk
makan. Aku lihat nenek di saung belakang rumah, ia makan dengan ini.
Papa dan Mama yang berikan itu untuk Nenek kan?!” Tanyanya polos.
Keduanya bergidik. ALLAH Swt sungguh telah menegur mereka berdua lewat
lidah anak mereka sendiri. Selama ini, sungguh mereka telah
menyia-nyiakan orangtua sendiri. Hingga harus makan dengan alas dari
sesuatu yang menjijikkan bagi mereka, yaitu batok kelapa. Apakah Anda
masih menyia-nyiakan hidup orangtua Anda?!
Komentar
Posting Komentar